oleh Rektor IAIN Curup, Prof. Dr. Idi Warsah, M.Pd.I
Dalam pidatonya pada acara Launching Logo dan Tema Hari Santri tanggal 6 Oktober 2023, Menteri Agama RI, Gus Yaqut Cholil Qoumas, mengutip definisi santri menurut Kyai Haji Mustofa Bisri atau Gus Mus. Definisi ini menekankan bahwa santri adalah murid Kyai yang mengalami pendidikan yang didasarkan pada kasih sayang, dengan tujuan untuk menjadi mukmin yang kuat. Gus Yaqut Cholil Qoumas juga menyoroti bahwa santri adalah kelompok yang mencintai negara dan tetap menghormati orang tua bahkan setelah mereka wafat. Konsep ini menegaskan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan dalam budaya santri.
Selain itu, definisi santri oleh Gus Mus yang dijelaskan oleh Gus Men menyoroti esensi bahwa santri sejatinya cinta terhadap ilmu pengetahuan dan memiliki semangat pembelajaran yang tidak pernah berhenti. Ini mencerminkan semangat intelektualitas dalam pendidikan santri dan keinginan untuk terus meningkatkan pengetahuan. Penekanan pada rasa syukur sebagai ciri khas seorang santri adalah pengingat akan pentingnya penghargaan terhadap karunia Allah dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan Menteri Agama ini memberikan inspirasi untuk pengembangan pribadi dan peningkatan moralitas dalam masyarakat, serta memupuk semangat positif dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari.
Pidato Menteri Agama RI, Gus Yaqut Cholil Qoumas, menghadirkan interpretasi dan pesan positif yang kuat tentang peran historis dan masa depan para santri di Indonesia. Pidato tersebut menggambarkan peran penting santri dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka berjuang untuk mempertahankan negara dari usaha penjajahan sekutu dan bahkan terlibat dalam resolusi jihad yang dipimpin oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, yang melibatkan seluruh komunitas santri untuk mempertahankan Indonesia.
Pemerintah Indonesia menghargai peran dan kontribusi para santri dengan memperingati Hari Santri setiap tanggal 22 Oktober. Ini adalah pengakuan resmi atas dedikasi mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun negara. Selama masa Orde Baru dan masa reformasi, santri tetap terlibat dalam perjuangan politik dan bahkan melahirkan tokoh-tokoh penting seperti Kyai Haji Abdurrahman Wahid, yang kemudian menjadi presiden. Hal ini mencerminkan keteguhan dan relevansi peran santri dalam pembentukan masa depan Indonesia.
Pidato ini memberikan apresiasi yang layak kepada santri dan mengingatkan kita akan kontribusi berharga mereka dalam sejarah dan politik Indonesia. Penghargaan yang diberikan oleh pemerintah melalui peringatan Hari Santri adalah tindakan yang patut diacungi jempol, karena memberikan rekognisi terhadap perjuangan mereka. Pidato ini juga mengajak para santri untuk terus mengikuti jejak pendahulu mereka dengan berpegang pada nilai-nilai keagamaan dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik. Pesan ini mempromosikan politik yang berintegritas, bermoral, dan berlandaskan agama, yang dapat menghasilkan kebaikan bagi masyarakat.
Pemahaman bahwa agama dapat diintegrasikan ke dalam politik tanpa mengorbankan moralitas dan integritas adalah suatu pandangan yang bernilai. Politik yang berbasis pada nilai-nilai agama dapat menjadi sarana untuk mencapai keadilan, kesejahteraan, dan ridho Allah SWT. PidatoMenteri Agama RI adalah sebuah pengingat akan peran penting santri dalam sejarah dan tantangan masa depan mereka untuk tetap menjadi pelopor nilai-nilai keagamaan dalam politik. Hal ini mendorong kita semua untuk berkontribusi pada perubahan positif dalam masyarakat dengan mengikuti prinsip-prinsip moral dan agama. Pidato Menteri Agama RI memotorisasi dan menjadi pengingat akan peran penting santri dalam sejarah dan tantangan masa depan bagi para santri agar mereka tetap menjadi pelopor nilai-nilai keagamaan dalam politik. Hal ini mendorong kita semua untuk berkontribusi pada perubahan positif dalam masyarakat dengan mengikuti prinsip-prinsip moral dan agama.
Dalam pidatonya, Menteri Agama RI, Gus Yaqut Cholil Qoumas, memberikan penjelasan mengenai peran penting para santri dalam sejarah Indonesia dan menyoroti bagaimana sejarah mereka sering kali disalahartikan. Pidato ini menyoroti tokoh-tokoh seperti Hadratus Syekh Hasyim Ashari yang merupakan ulama besar, namun juga seorang politikus yang beragama dengan politik. Hadratus Syekh Hasyim Ashari membuat keputusan penting dengan membawa Nahdlatul Ulama (NU) untuk bergabung dengan Masyumi dengan niatan untuk meredakan kelompok garis keras dan mendorong mereka menuju jalur moderat. Di sisi lain, Kiai Wahab Hasbullah memutuskan agar NU bergabung dengan Nasakom dengan tujuan serupa, yaitu membujuk kelompok yang ekstrem komunis agar kembali ke jalur tengah yang moderat.
Poin utama dalam pidato ini adalah perbedaan antara beragama dengan politik dan berpolitik melalui agama. Menteri Agama RI mengingatkan tentang fenomena saat ini di mana beberapa individu dan kelompok menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan politik mereka. Pidato ini menggarisbawahi bahwa politik seharusnya dijiwai oleh nilai-nilai agama yang baik, dengan tujuan utama untuk kesejahteraan masyarakat dan mendapatkan ridho Allah SWT, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Menteri Agama RI dalam pidatonya pada dasarnya mengajak semua pihak untuk mengikuti jejak tokoh-tokoh seperti Hadratus Syekh Hasyim Ashari dan Kiai Wahab Hasbullah yang mampu menjalankan politik dengan nilai-nilai agama yang baik. Pesannya tentang tidak menggunakan agama sebagai alat politik adalah panggilan untuk menjaga integritas agama dan kepentingan yang lebih besar bagi masyarakat. Selain itu, ia juga mengharapkan bahwa generasi santri masa depan akan mampu mewujudkan visi ini dan melanjutkan warisan yang telah ditinggalkan oleh para Kiai-Kiai pendahulu mereka.
Sesi akhir pidato Meneteri Agama RI, Gus Yaqut Cholil Qoumas, menegaskan sikap penolakannya terkait penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik. Agama seharusnya tidak dijadikan alat atau kambing hitam dalam dunia politik. Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran Gus Yaqut terhadap praktik-praktik yang menyimpang di mana agama digunakan untuk memenangkan dukungan politik atau mencapai tujuan politis tertentu. Gus Yaqut dengan jelas menggarisbawahi bahwa pernyataannya itu bersifat umum dan sikapnya itu tidak ditujukan kepada individu atau kelompok tertentu. Sikapnya itu bukanlah suatu bentuk konfrontasi dengan siapa pun. Gus Yaqut tidak merasa perlu untuk bersikap agresif atau menyerang siapa pun yang mungkin tersinggung dengan pandangannya. Sebaliknya, ia mengajak untuk berdialog secara bijaksana dan menghormati perbedaan pendapat.
Pada akhir pidatonya, Gus Yaqut mengajak untuk refleksi diri dan introspeksi bagi siapa pun yang mungkin terlibat dalam penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik. Menurut Rektor IAIN Curup, Prof. Dr. Idi Warsah, M.Pd.I, Gus Yaqut memberikan contoh sikap yang bijaksana dan penuh kesabaran dalam menghadapi isu yang sensitif.